17 Jul 2011

Kearifan Tradisi Lokal

Adat kebiasaan terbentuk secara natural, sesuai dengan kodrat dan fitrah manusia, sampai kapan dan dimanapun akan baik, karena hal tersebut dilakukan secara berulang-ulang secara evolusional sehingga membentuk watak dan pola pikir manusia. Karena suatu masyarakat tidak akan melakukan perbuatan berulang-ulang kalau hal itu dipandang tidak baik.
Nilai seorang manusia pun bisa dipandang dari adat sehari-hari, karena orang bisa menilai dari apa-apa yang sehari-harinya ia kerjakan, sehingga terkadang adat ini dijadikan sebagai dasar untuk menilai seseorang. Didalam Islam kaidah ini sering disebut Al’adah Muhakkamah (Adat Kebiasaan itu Ditetapkan sebagai Hukum)
Kalaupun ada kebiasaan yang tidak baik atau buruk (fasid) hal itu bisa terjadi karena pengaruh dari hegemoni kekuasaan atau kekuatan tertentu, selain itu pula lingkungan pun berpengaruh akan perubahan-perubahan pada adat-adat di daerah tersebut. Karena seperti yang dikatakan sebelumnya bahwa hati nurani manusia akan menolak kebiasaan yang dipaksakan. Sebuah kaidah fiqh haruslah mempunyai landasan dan dasar yang kuat, begitu pula kaidah ini mempunyai dasar dari al-Qur’an yakni surat Q.S al-A’raf ayat 7 :
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Adapun dasar yang berupa sabda rasul yaitu :
 “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik” (HR Ahmad).
Atas dasar itulah adat kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Islam serta tidak melanggar dengan ketentuan syari’at dapat ditetapkan sebagai sumber hukum. Adat kebiasaan yang menyimpang dari syari’at, walaupun banyak dikerjakan oleh banyak orang, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum. Sebab dalam hadis tersebut diberi predikat hasan (baik), yang sudah barang tentu menurut ukuran syari’at dan logika. Sesuatu akan dikatakan baik, jika tiada nash yang menetapkannya ditentukan oleh penilaian nalar dan diterima oleh masyarakat.
Peranan Adat dalam Fiqih Islam
Para imam mazhab dalam membina hukum fiqih banyak sekali memperhatikan kepada urf setempat. Imam Malik misalnya dalam membina mazhabnya lebih dititikberatkan kepada amaliyah ulama Madinah : fatwa-fatwa Abu Hanifah berbeda dengan fatwa murid-muridnya lantaran perbedaan sosio-culture yang dihadapinya. Begitu pula yang terjadi pada Imam syafi’i yang terkenal dengan qoul qodim dan qoul jadid-nya, dalam mengemukakan pendapatnya ia tidaklah lepas dari adat dimana ia mengeluarkan fatwa. Akan tetapi bukan berarti tidak konsisten dalam menetapkan hukum, hanay saja menyesuaikan dengan kondisi dan keadaan diamana tempat dan kondisi yang berbeda.
 Hal ini menunjukan bahwa Islam sangat memperhatikan tradisi dan adat yang ada dalam masyarakat. Seperti halnya para tokoh imam madzhab tadi, kita kenal imam Malik Ibn Anas yang sangat memperhatikan terhadap amal-amal dalam hal ini adalah adat para penduduk madinah
Walhasil tidak sedikit jumlahnya masalah-masalah fiqhiyah yang bersumber dari adat kebiasaan yang berlaku pada masa dan situasi setempat. Apalagi kalau syari’at menyebutkan suatu ketentuan secara mutlak tanpa batasan  dari segi nash itu sendiri maupun dari segi pemakaian bahasa. Untuk ketentuan tersebut para ahli ushul membuat suatu kaidah :
“Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara secara mutlak dan tidak ada pembatasan dalam syara dan dalam ketentuan bahasa dikembalikan kepada urf”
Misalnya istilah-istilah : Hirzu (penyimpanan) salah satu unsur mencuri dan sariq (pencuri), yang keduanya berlaku dalam bidang hukum pidana Islam, tafarruq (berpisah), Qabdhi (penerima) dalam hukum jual beli dan haid (mainstruasi) dalam hukum munakahat. Istilah-istilah tersebut tidak diterangkan dalam pengertiannya secara otentik oleh syara. Karena itu semuanya diserahkan kepada adat kebiasaan dalam memberikan batasan dan interpretasi.
Perbedaan Antara Adat dan Urf
Istilah lain yang dikenal dan hampir mempunyai kesamaan arti dengan adat adalah urf, kedua term ini sering digunakan bahkan hampir tidak bisa dibedakan. Dalam ilmu ushul fiqih ulama berpendapat bahwa urf itu ada yang baik dan ada yang buruk (fasid), jika benar demikian maka hal itu tak jauh beda dengan adat itu sendiri. Adapun yang dijadikan sebagai dasar atau menjadi pertimbangan dalam menentukan status sebuah hukum atau dalam meng-istinbath ahkam adalah al-urf ashahih sedangkan urf yang fasid tidak dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam meng-istinbath ahkam
Akan halnya mengenai persamaan dan perbedaan antara adat dan urf ini dapat kita lihat dari pendapat para ulama. Al-Ghazali, al-Jurjani dan Ali Haidar mengatakan bahwa antara adat dan urf itu mempunyai makna yang sama, dalam hal ini mereka berpendapat bahwa keduanya hanya berbeda dalam melafadzkannya saja, mengenai makan keduanya mempunyai makna yang sama. Lain halnya dengan para ulama lain, seperti yang diungkapkan oleh al-Khayyath, bahwa sebagian ulama membedakan dua itilah antara adat dan urf.
Adat menurut sebagain ulama adalah sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan yang bersifat umum atau general, karena adat ini adalah kebiasaan, baik itu dilakukan secara individu atau dilakukan secara bersama atau kolektif. Berbeda dengan urf, ulama mendefinisikan urf ini adalah kebiasaan yang hanya bersifat kolektif saja. Sehingga bisa diambil pengerrtian sebagai berikut  setiap urf adalah adat namun tidak setiap adat adalah urf. Adapun kadah yang diungkapkan oleh al-Khayyat (Abdul Aziz al-Khayyath) adalah :
“Setiap urf adalah adat dan tidak setiap adat adalah urf”
Menurut hemat penulis, kalau merujuk pada al-Quran yakni QS 7;199 tentang perintah Allah kepada Muhammad “bersikaplah pema’af, perintahkan dengan ‘urf dan berpalinglah dari orang-orang jahil”.
Jika ‘urf ada kemungkinan fasid, lantas apa mungkin Allah memerintahkan kepada Muhamad untuk memerintah dengan ‘urf. Jadi kalau ‘urf itu akan senantiasa positif dan adat bisa saja terjadi fasid.
Ali Haidar mengatakan bahwa ‘urf itu adalah “sesuatu yang pelakunya merasa tenang ketika melakukannya dan diterima berdasarkan akal sehat serta dilakukan berulang-ulang”
Dari ungkapan Ali haidar ini memperjelas bahwa ‘urf itu senantiasa positif, karena kalau ada kemungkinan fasid, akal sehat tidak  mungkin serta merta meneima
Dari catatan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah para ulama membuat kaidah asasi ini tidaklah hanya sebuah membuat kaidah sesuai dengan keinginan sendiri akan tetapi, harus berdasar kepada nash juga terhadap realita yang terjadi pada masyarakat, yakni bagaimana agar kaidah yang dirumuskan tersebut dapat mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan pada umat Islam sehingga tercipta apa yang telah digariskan dalam al-Quran, yaitu Islam sebagai agama yang rahmatan lilalamiin.
Adat atau urf yang merupakan kebiasaan yang terbentuk secara natural, atau sesuai dengan  kodrat dan fitrah manusia tidak dapat dipungkiri dapat dijadikan sandaran atau pertimbangan dalam menentukan suatu status hukum yang belum jelas. Pun hasil pertimbangan tersebut dapat memaslahatkan ummat. Begitupun halnya dalam sebuah negara dapat dikenali dengan budaya dan tradisinya. Sebuah tradisi dapat menjadi pemicu tumbuhnya kesadaran nasional dan menumbuhkan kesadaran untuk berTuhan dengan baik. Untuk pembahasan ini mnngkin di sesi yang lain.
By : Aji Rahmadi & Ahmad Komarudin

Almuhafaddotu ‘ala qodiimi sholih
Wal akhudz bijadiidi ashlah
Daftar Pustaka
Jaih Mubarak. Kaidah Fiqh, Sejarah dan Kaidah Asasi. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2002
Muhtar Yahya & Fatchur Rahman. DASAR-DASAR PEMBINAAN FIQH ISLAM PT. Al-Ma’arif. Bandung. 1986.
SA, Romli, Muqaranah Madzhab Fil Ushul. GAYA MEDIA PRATAMA. Jakarta, 1999.
Dutton, Yasin. Terjemah The Origins of Islamic Law; the Qur’an, the Muwatta’, and Madinan ‘Amal. Islamika. Yogyakarta. 2003
Read More >>

Lompatan Waktu (Part II End)

Relativitas merupakan subjek yang penting berkaitan dengan pengukuran (pengamatan) tentang di mana, kapan dan bagaimana suatu kejadian atau peristiwa terjadi.. Dengan menjadikan Dia sebagai kerangka yang mutlak atau Khas terhadap keumuman yakni tujuan manusia ini sendiri, bukanlah hal yang mustahil perpspektif tentang masa depan atau paradigma yang ada dalam pikiran manusia dapat berubah,, atau dengan mengamati dan menganalisis setiap inersial dan interval yang terjadi memungkinkan kita dapat memprediksi masa depan. Atau mungkin teori  Relativitas ini memungkinkan perpindahan ruang dan waktu dengan melebur zat-zat yang terkandung dalam tubuh manusia  ini menjadi partikel-partikel yang memungkinkan untuk melakukan perpindahan ruang dan waktu. Kaitannya dengan masa depan adalah, masa depan diartikan sebagai ruang waktu yang tak terbatas dan untuk mengetahui masa depan adalah melebur partikel-partikel kehidupan disaat pergerakan atau pergeseran terjadi.
Read More >>